Kader Semut Solusi Kesehatan Gigi Anak Tunagrahita
Kesehatan gigi dan mulut adalah hal penting bagi masyarakat. Sementara di banyak masyarakat masih ditemui sikap kurang peduli terhadap kesehatan gigi dan mulut, terlebih pada anak-anak berkebutuhan khusus. Anak-anak ini lebih rentan mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut, seperti yang dialami anak-anak penyandang tunagrahita yang mengalami mental retardation (MR).
“Lebih dari 50 persen anak-anak penyandang tunagrahita memiliki masalah kesehatan gigi dan mulut, kerenanya dibutuhkan penanganan dengan edukasi melalui kader untuk memberikan penyuluhan guna mendeteksi dini penyakit gigi dan mulut serta pencegahannya,” ujar W. Palupi, mahasiswi Fakultas Psikologi UGM, di ruang Fortakgama, Rabu (4/7).
Untuk itu, ia bersama empat teman lainnya A. Paramahita, N. Evi (Fakultas Psikologi), K. Purnama dan A. Latif (FKG UGM, Program Studi Keperawatan Gigi membentuk kader yang disebut “Kader Semut” guna memberikan porsi lebih perhatian pada kondisi kesehatan gigi dan mulut anak tuna grahita. Para “Kader Semut” ini mengajarkan anak tuna grahita cara menyikat gigi yang benar, penyakit periodontal, dan makanan sehat bagi gigi dengan pendekatan psikologis. Selain itu, diajarkan mendeteksi dini penyakit periodontal secara sederhana sehingga jika anak tuna grahita mengalami masalah dengan kesehatan gigi dan mulut dapat segera tertangani dan langsung merujuk ke dokter gigi.
“Alhamdullilah, gagasan Kader Semut inipun diapresiasi banyak pihak. Bahkan kini menjadi tim PKM-M UGM menuju Pimnas XXV Tahun 2012 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kita berharap gagasan ini mampu memberikan manfaat bagi anak-anak penyandang tuna grahita,” ungkap Palupi.
Palupi menjelaskan, saat ini terdapat 39 “Kader Semut†terdiri dari guru dan orang tua anak tuna grahita yang terbagi menjadi 24 orang di SLB Negeri 1 dan 15 di SLB Negeri 2 Yogyakarta. Setelah tim PKM-M UGM melakukan pelatihan dan evaluasi, ternyata para “Kader Semut” mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan edukasi dari para kader. Para kader mampu memberikan edukasi kepada anak tuna grahita dan mampu memberikan pengetahuan kepada teman sejawatnya. “Yang menarik kegiatan berlanjut dengan adanya pembuatan blog yang memuat berbagai informasi kesehatan gigi dan mulut untuk anak berkebutuhan khusus. Blog ini dapat diakses semua kader dan masyarakat dengan berbagai materi berkaitan dengan kesehatan gigi dan mulut pada kurikulum bina diri 2012-2013 pada SLBN 1 dan 2 Yogyakarta,” jelasnya.
Paramahita menambahkan masalah kesehatan gigi dan mulut terbesar terjadi pada kasus anak-anak tunagrahita, atau yang biasa disebut mereka yang mengalami gangguan mental retardation (MR). Anak-anak ini memiliki keterbatasan dan ketidakmampuan fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang diekspresikan secara konseptual, dan tidak memiliki kemampuan praktis sosial dan adaptif.
Oleh karena itu, kata Paramahita, diperlukan penyuluhan atau edukasi kepada para kader (guru dan orangtua siswa) untuk memberikan penyuluhan terutama deteksi dini penyakit gigi dan mulut serta pencegahan yang dapat dilakukan. Dipilihnya guru dan orang tua siswa sebagai kader karena unsur kedekatan dengan anak-anak tuna grahita. “Karena para guru dan orang tua lebih memahami kondisi anak-anak tuna grahita.
Kader sangat berperan sebagai caregiver, mereka tidak hanya mengajari cara menjaga kesehatan gigi dan mulut, namun juga sebagai sosok yang merawat sekaligus mendidik,” ujar Paramahita menambahkan. (Humas UGM/ Agung – Satria)