Perawat Gigi Praktik Mandiri, Kenapa Tidak?
Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena itu bidang kesehatan harus diupayakan oleh Negara (pemerintah) melalui penyelenggaraan pembangunan dibidang kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat luas di Indonesia. Hal tersebut hanya dapat dicapai melalui pelayanan yang bermutu serta professional dari tenaga kesehatan, utamanya yang memberikan pelayanan secara langsung.
Profesi perawat gigi merupakan salah satu komponen utama dan mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat berupa tindakan keperawatan gigi. Permasalahan yang dihadapi oleh perawat gigi di Indonesia adalah kurangnya perhatian yang diberikan pemerintah terhadap perkembangan profesi. Semenjak tahun 1950-an kehadiran perawat gigi di Indonesia, baru tahun 1998 melalui SK.Menkes.RI nomor 1035 pemerintah menyatakan bahwa perawat gigi adalah tenaga kesehatan yang berada dikelompok keperawatan bersama dengan profesi perawat dan bidan.
Namun……maaf, perhatian itupun tidak seutuhnya diberikan, ibarat kata tangan dilepas namun kaki masih dipegang. Profesi perawat gigi tidak bisa berkembang sebagaimana profesi lain, sehingga masih ada profesi lain yang memandang bahwa perawat gigi merupakan semacam pekerjaan atau okupasi biasa. Tapi pandangan ini tidak salah, karena memang sejak proses pendidikan dan bagaimana ia bekerja nantinya masih diurus oleh pihak lain yang semestinya tidak boleh ikut campur tangan. Lalu siapa yang berwenang, organisasi Persatuan Perawat Gigi Indonesia (PPGI) adalah organisasi yang paling berhak.
Tetapi sayang, perkembangan profesi kesehatan di Indonesia tidak dihadapi oleh PPGI dengan professional. Masih ada keraguan untuk membawa kemana arah berlayar dan kemana jurusan untuk berlabuh. Namun ini semua bukan kesalahan mutlak milik PPGI, karena di Indonesia semua keputusan berada pada pemerintah, yang belum tentu sepaham dan seiya dengan profesi. Tentunya hal ini tidak boleh menjadikan PPGI menjadi kambing congek yang selalu menurut apa yang dimaui oleh pemiliknya. Karena sebagai profesi yang professional, sudah seharusnya PPGI mampu memadukan segenap potensi perawat gigi di Indonesia, meningkatkan harkat, martabat, dan kehormatan diri serta profesi perawat gigi di Indonesia, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan gigi.
Jika ditilik secara seksama pada prinsipnya profesi perawat gigi sudah memenuhi persyaratan untuk dianggap sebagai profesi yang professional, seperti
1) memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersifat khusus atau spesialis;
2) melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan tenaga professional;
3) keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat;
4) mempunyai kewenangan yang disyahkan atau diberikan oleh pemerintah;
5) mempunyai peran dan fungsi yang jelas;
6) mempunyai kompetensi yang jelas dan terukur;
7) memiliki organisasi profesi sebagai wadah;
8) memiliki etika profesi;
9) memiliki standar pelayanan;
10) memiliki standar pendidikan yang mendasari dan mengembangkan profesi sesuai dengan kebutuhan pelayanan;
11) memiliki standar pendidikan berkelanjutan sebagai wahana pengembangan kompetensi. Ada satu hal pokok yang belum dimiliki oleh perawat gigi dan belum dikeluarkan oleh pemerintah yaitu Izin Praktik Mandiri sebagaimana profesi kesehatan lainnya.
Untuk diketahui, saat ini perawat gigi dalam menjalankan profesinya diatur oleh Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1392/Menkes/SK/XII/2001 tentang Registrasi dan Izin Kerja Perawat Gigi, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 284/Menkes/SK/IV/2006 tentang Standar Pelayanan Asuhan Kesehatan Gigi yang menetapkan pedoman yang harus diikuti oleh perawat gigi dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 378/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Perawat Gigi yang wajib digunakan oleh perawat gigi dalam menjalankan profesinya.
Tidak seperti profesi lainnya yang diberi hak untuk melaksanakan praktik secara mandiri, misalkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, dan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, maka perawat gigi hanya diatur bagaimana bisa bekerja secara legal. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan SK Menteri Kesehatan RI tersebut, profesi perawat gigi jelas tertinggal beberapa langkah dari profesi keperawatan lainnya.
Pertanyaannya adalah, apakah dengan kondisi demikian perawat gigi tidak dapat menjalankan profesinya…? Dalam tataran hukum di Indonesia, jika ada perawat gigi yang membuka praktik perawat gigi mandiri tidak bisa dituntut secara pidana ataupun perdata, kecuali jika ada hal khusus akibat dari perbuatannya yang bisa dituntut. Sampai tulisan ini saya buat, belum ada satupun peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam mengatur bagaimana perawat gigi melaksanakan praktiknya. Dilain pihak standar pelayanan dan standar profesi perawat gigi sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI sebagaimana diatas. Jujur….., kondisi ini justru membuat profesi perawat gigi lebih leluasa melaksanakan praktik mandirinya tanpa harus mendapatkan izin dari dinas/pihak terkait, tetapi harus tetap berada dalam jalur Standar Pelayanan dan Standar Profesi yang ada.
Jika perawat gigi melaksanakan praktik mandiri tanpa izin apakah ini bisa dikategorikan melanggar hukum….? Jawabannya yang pasti adalah tidak, karena seseorang dikatakan melanggar hukum jika memenuhi 3 (tiga) unsur, 1) melanggar hak orang lain; 2) bertentangan dengan hukum yang ada; 3) bertentangan dengan norma kesusilaan, agama, adat istiadat dan kebiasaan lainnya. Unsur pertama tidak terpenuhi karena perawat gigi tidak mengambil dan melanggar hak orang lain, karena perawat gigi melaksanakan profesinya berdasarkan standar profesi yang mereka miliki. Unsur kedua tidak terpenuhi, karena memang belum ada aturan yang mengatur tentang praktik perawat gigi, oleh sebab itu tidak ada peraturan yang dilanggar jika perawat gigi praktik mandiri. Unsur ketiga pun tidak terpenuhi, karena memang tujuan dari pelayanan keperawatan gigi yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, dan sangat jelas tidak bertentangan dengan norma, etika ataupun kebiasaan yang ada. Jika ada komplain atau tuntutan dari masyarakat yang merasa dirugikan akibat praktik mandiri perawat gigi, maka jalan penyelesaiannya adalah dikembalikan kepada KUH Perdata dan KUH Pidana (Pasal 359 dan 360) atau memakai asas Lex Generalis (aturan umum).
Sudah saatnya perawat gigi Indonesia sadar hukum dan memahami situasi yang ada, sehingga mereka mampu melakukan sesuatu yang sanggup mengangkat harkat dan martabat dirinya. Tidak masanya lagi anda terkukung oleh kondisi yang diciptakan untuk membuat anda tidak bisa berkembang sebagaimana harusnya profesi dalam berkarir. Takut dianggap melakukan praktik illegal…? Takut dianggap melakukan malpraktek….? Takut kena razia oleh pihak yang tidak senang melihat anda maju……? Buanglah itu semua, karena Negara kita adalah Negara hukum yang akan melindungi segenap warga negaranya jika melakukan sesuatu yang memang tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri. Saya berani mengatakan hal ini, karena sebelum tulisan ini saya buat, saya telah melakukan pengkajian yang mendalam terhadap system hukum yang kita miliki, serta melakukan konsultasi dengan 2 (dua) orang guru besar dalam bidang hukum, 1 (satu) orang hakim pengadilan negeri dan 1 (satu) orang Doktor bidang hukum yang kapasitas dan kapabilitasnya sangat tidak diragukan lagi. Kesemuanya mengatakan hal yang sama tentang praktik perawat gigi mandiri, nah kurang apalagi, masih takut………?
Dilain pihak, demi jaminan dan kepastian hukum bagi perawat gigi serta masyarakat yang menerima pelayanan, sangat diperlukan adanya aturan perundangan yang mengatur bagaimana seorang perawat gigi melakukan praktik mandirinya. Karena tiada pastian hukum jelas merupakan hal yang tidak bisa dibiarkan berlaku lama. Lalu siapa yang bertanggung jawab mengakomodasi ini semua…?
Yang pertama adalah organisasi profesi perawat gigi, yaitu PPGI. PPGI mempunyai tanggung jawab moral untuk selalu berjuang agar dikeluarkannya aturan oleh pemerintah tentang Praktik Mandiri Perawat Gigi. Organisasi profesi tidak boleh hanya sekedar tempat kumpul tanpa arti, untuk itu PPGI harus menyatukan segenap potensi yang ada agar praktik perawat gigi ini bisa diakui secara resmi oleh Negara. Segenap upaya mesti dilakukan, dimulai sosialisi, seminar ataupun dalam bentuk workshop dengan profesi terkait lainnya agar mendapatkan persepsi yang sama tentang profesi perawat gigi serta mendapatkan dukungan untuk melaksanakan praktik.
Yang kedua adalah pemerintah, dalam hal ini tentunya diwakili oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia melalui biro hukum dan organisasinya. Fakta belum adanya peraturan yang khusus mengatur secara tegas tentang praktik mandiri perawat gigi, telah membatasi ruang gerak (mereduksi) profesi perawat gigi untuk melakukan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya, sehingga akses masyarakat untuk memperoleh dan memilih layanan kesehatan (bukan hanya layanan kedokteran-belaka) yang berkualitas dan otonom tidak dapat teraktualisasi secara wajar. Bahwa secara konstitusional Negara Republik Indonesia adalah penganut paradigma Negara kesejahteraan (welfare state), yaitu Negara secara proaktif dan imperative ikut mengusahakan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat, termasuk dalam hal ini adalah tersedianya dan kemudahan akses layanan kesehatan sebagaimana diabadikan di dalam Pasal 34 Ayat (3) UUD 1945. Berdasarkan paradigma welfare state tersebut, ketiadaan undang-undang/peraturan yang mengatur praktik perawat gigi secara empirik justru menghalangi dan mereduksi hak-hak masyarakat untuk memilih dan memperoleh seluas-luasnya pelayanan kesehatan yang memadai dan berkualitas bagi dirinya. Oleh karena itu ketiadaan aturan yang mengatur tentang praktik perawat gigi dapat dikategorikan sebagai keadaan yang diametral atau berseberangan dengan konstitusi
Bahwa berdasarkan alasan tersebut diatas, baik secara potensial maupun secara objektif empiris ketiadaan kepastian hukum bagi praktik perawat gigi telah mencederai hak-hak konstitusional perawat gigi sebagaimana dipositifkan di dalam Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Untuk itu, melalui Rapat Pimpinan Nasional (RAPIMNAS) PPGI yang akan diadakan tanggal 6-9 Agustus 2008 di Banjarmasin, merupakan kesempatan yang tepat untuk membenahi dan mencoba meletakan sendi-sendi yang kokoh untuk kemajuan profesi, terutama adanya pengaturan yang merupakan pengakuan dari Negara tentang Praktik Perawat Gigi secara mandiri. Profesi perawat gigi harus segera bergerak dan mengambil kesempatan yang ada, jangan lagi terpekur kepada jargon lama yang tidak hanya memabukan namun juga sanggup menghanyutkan profesi perawat gigi. Saatnya untuk bangkit, seperti kata bijak Kalau Tidak Sekarang Kapan Lagi. Terlalu lama bertindak, maka tunggu saja saatnya nanti profesi perawat gigi hanya akan tinggal kenangan.